Menuntut ilmu, jalan menuju surga
Bismillahirrahmanirrahim
Seorang penuntut ilmu adalah seorang pengembara yang sedang menempuh sebuah perjalanan. Bagi orang-orang yang diberikan hidayah, tujuan akhir dari perjalanan tersebut sudah semakin jelas tergambar. Sebuah tempat yang tidak ada lagi kematian dan kesedihan di dalamnya. Segala kenikmatan yang belum pernah ada semasa hidup telah Allaah janjikan melalui banyak firman-Nya. Namun jalan manakah yang harus dipilih ketika menemui persimpangan jalan? Apa yang harus dilakukan ketika dihadapkan pada berbagai rintangan? Kapankah waktu yang tepat untuk berjalan pelan, berlarian kecil, atau sekedar beristirahat melepas penat di bawah pohon yang rindang?
Semakin banyaknya majelis ilmu dengan berbagai metode dan sarana penyampaian memudahkan para penuntut ilmu dalam berburu manisnya ilmu. Khususnya bagi orang-orang awam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal di sekolah agama atau keluarga yang agamis. Semua orang kini memiliki kesempatan yang sama dalam proses mendalami ilmu syar’i. Namun layaknya dalam sebuah perjalanan, kita mesti memerhatikan berbagai rambu yang ada di sepanjang jalan. Buku yang akan dibahas selanjutnya dapat membantu kita untuk mengenal berbagai rambu dan etika dalam menempuh perjalanan menuntut ilmu.
Kitaabul ‘Ilmi merupakan salah satu dari banyak karya Syaikh Shalih al-‘Utsaimin yang memberi makna tersendiri di hati para penuntut ilmu. Buku ini tidak hanya berisi berbagai definisi, hukum-hukum, serta cara-cara dalam menuntut ilmu. Kita sebagai pembaca diajak untuk berpikir lebih dalam bagaimana keterkaitan antara hal tersebut dengan berbagai permasalahan yang riil terjadi di kehidupan sehari-hari. Hal ini semakin memudahkan kita dalam menyikapi berbagai dinamika yang terjadi dalam kehidupan. Maka membaca buku ini sekali tidak akan cukup karena pada kali kedua dan ketiga kita membacanya, semakin banyak keutamaan yang sebelumnya tidak kita perhatikan.
Salah satu contoh ketika Syaikh menuliskan tentang perselisihan pendapat yang sudah terjadi sejak jaman Para Sahabat. Masalah yang diperselisihkan adalah masalah yang dibolehkan berijtihad di dalamnya -seperti masalah bersedekap setelah bangkit dari rukuk-, bukan terkait masalah-masalah ‘aqidah , maka Syaikh menuliskan:
Hal ini tidak boleh kita jadikan sebab terjadinya permusuhan dan perpecahan antara ahli ilmu. Kita melihat bahwa perbedaan paham tidak harus menyebabkan manusia saling membenci dan mencela kehormatan saudaranya.
Maka setiap penuntut ilmu wajib menjadi saudara sekalipun mereka berbeda pendapat dalam beberapa masalah furu’. Setiap orang harus memanggil pihak lain dengan lembut dan berdialog yang ditujukan untuk menggapai wajah Allah dan mencapai ilmu.
Jika hanya jika banyak penuntut ilmu mengetahui dan mengamalkan isi dari buku ini, maka perdebatan panjang di media sosial dan kejadian saling tuding-menuding kesalahan sesama muslim tidak akan tumbuh subur. Buku ini juga memuat 119 pertanyaan yang diajukan orang-orang kepada Syaikh terkait berbagai masalah mengenai perjalanan menuntut ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika penuntut ilmu menemui kesulitan menetapkan niat ikhlas semata untuk Allah namun terbayang-bayang tujuan lain seperti mendapatkan ijazah, masalah taqlid bagi penuntut ilmu yang pemula, menyikapi adanya perbedaan diantara para asatidz, penyikapan masalah tahdzir yang terjadi, dan hal-hal lainnya.
Jika pembaca adalah seorang yang suka untuk menandai kalimat-kalimat yang penting, niscaya bukunya akan penuh dengan berbagai garis bawah dan coretan karena setiap kalimat memiliki makna yang mendalam. Sulit untuk memilih mana yang lebih penting diantara yang lainnya. Menyelesaikan buku ini hanya satu kali rasanya tidak akan cukup. Bahkan buku ini semakin memikat meski sudah berulang-ulang dibaca karena semakin banyak faidah baru yang ditemukan.