Penulis : Gifar Rabakhir
Hari rabu, tanggal 24 Januari lalu, terjadi sebuah gempa berkekuata 6,4 skala ritcher di daerah Lebak Banten. Saat itu, aku sedang berada di lantai 9 sebuah gedung di Jakarta. Memang, terdapat peristiwa yang memicu adrenalin karena aku dan kawan-kawan harus berlari melalui tangga darurat dari lantai 9, tapi bukan itu yang aku fokuskan dalam tulisan ini, melainkan pelajaran apa yang bisa aku ambil dari peristiwa yang kulihat saat gempa dan proses evakuasi berlangsung.
Ya, pada saat gempa berlangsung, terjadi sebuah keriuhan yang sangat besar. Bisa dibilang semua orang berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri masing-masing, tidak peduli apa yang terjadi pada orang lain. Saat itu, aku melihat bagaimana ada seseorang yang tasnya tersangkut pada knop pintu, padahal ia bisa meninggalkan tasnya untuk menyelamatkan nyawa yang lebih berharga. Bukankah sebuah tas tidak lebih berharga dari nyawa yang terancam bahaya? Bukankah dunia hanya senda gurau, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam surat Al-Ankabut ayat 64, “Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” Bahkan Rasulullah Shallallahu Alayhi wa Sallam menyebutkan bahwa dunia bagi Allah adalah lebih hina dari bangkai kambing, dalam Hadits riwayat Muslim nomor 2957. Maka untuk apa orang tersebut mengorbankan dirinya demi bangkai kambing?
Tapi yang lebih mengherankan adalah bagaimana teman-temannya tidak menyadari keadaannya yang sedang membutuhkan bantuan. Mereka seolah-olah tidak peduli dengan apa yang terjadi padanya. Membuatku berpikir tentang bagaimana keadaan kita pada hari kiamat kelak? Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam surat Abasa ayat 33-37, “Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” Kebayang?
Oke, tadi adalah perbandingan antara keadaan sekarang dan hari kiamat kelak. Sekarang bisa kita bandingkan antara kejadian yang terjadi pada waktu bersamaan. Aku, mungkin masih beruntung karena hanya perlu turun dari lantai 9. Coba bayangkan, jika kita harus turun dari lantai tertinggi pada gedung yang lebih tinggi lagi, tidak perlu jauh-jauh ke Dubai, cukup di gedung tertinggi di Indonesia yang memiliki 46 lantai. Beberapa orang dari aku dan teman-teman saja sudah kepayahan, padahal itu hanya 9 lantai, bagaimana jika 46? Sungguh bahkan dengan hal ini, aku bisa belajar bersyukur.
Maka pada setiap kejadian, Allah selalu memberikan tanda-tanda kekuasaan dan kasih sayangnya. Sekarang, tinggal bagaimana kita sebagai makhluk menyikapinya. Apakah kita mau senantiasa berhusnuzon kepada Rabbul Alamin yang berkuasa atas segala sesuatunya, ataukah terus-menerus mencela apa-apa yang terjadi bila itu buruk menurut kita, hingga melupakan adanya hal baik yang kita dapatkan, padahal jumlahnya justru lebih banyak. Maka aku cukupkan tulisan ini. Semoga kita senantiasa menjadi makhluk yang dapat bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin Allahumma aamiin.
Depok, 26 Januari 2018