Di penghujung ramadhan, diantara kita berlomba-lomba untuk memperbanyak khataman Al-Quran dengan beragam alasan. Salah satu alasan utamanya karena teladan para salaf yang merutinkan khatam, karena Momen Ramadhan adalah keutamaan pada banyak membacanya daripada mengkajinya. Walau dalam hal ini, menggabungkan keduanya adalah hal yang dianjurkan.
Tetapi, perlu diketahui bersama bahwasannya Khataman Al-Qur’an yang dilakukan para salaf itu didasari kualitas yang baik, bukan sekadar kuantitas yang banyak. Pasalnya, riwayat yang menjelaskan banyaknya kuantitas khatam Al-Quran dari generasi salaf berasal dari kalangan Qurra (ahli qira’at dan hafal Al-Qur’an) dan Fuqaha (ahli hukum islam) yang terbiasa berinteraksi dengan Al-Qur’an sepanjang waktu.
Mereka telah melewati tahap dasar pembelajaran Al-Qur’an berupa tajwid, itqan hafalan, tafsir, kandungan hukum dan ulumul qur’an. Sehingga, wajar saja mereka dapat khatam berkali-kali dalam waktu yang singkat. Dilain sisi, mereka adalah para wali Allah yang diistimewakan dengan karamah waktu sehingga bisa saja berbeda dengan waktu manusia umumnya.
Dari sisi bacaan Al-Qur’an, kualitas tajwid haruslah dijaga sebisa mungkin walau membaca dengan kadar cepat (hadr). Adapun perbedaan hukum mengamalkan tajwid antara Qurra dan Fuqaha, sebaiknya janganlah mencari alasan untuk tidak mengamalkan tajwid dengan sempurna. Karena seminimalnya adalah sunnah, dan tidak selayaknya muslim yang berjiwa fastabiqul khairat menyepelekan amaliah sunnah.
Diantara kualitas tajwid yang harus dibenahi para qari ketika membaca dengan hadr adalah :
- Konsistensi Mad Munfashil
Umumnya, bacaan hadr akan menggunakan kadar mad munfashil 2 harakat. Ini boleh-boleh saja, tapi harus diperhatikan jenis qiraat/riwayat/thariq yang dipakai.
Dalam riwayat Hafsh, yang mengakomodasi 2 harakat adalah thariq Thayyibatun Nasyr dengan 8 thariq cabangnya. Yang populer digunakan adala thariq Misbah ‘an Al-Hammami.
Masing-masing qiraat/riwayat/thariq memiliki kaidah tersendiri, dan hendaknya para qari konsisten dengan kaidah tersebut ketika mengamalkannya. - Penyempurnaan Mad Muttashil
Mad Muttashil disepakati atas status panjangnya, karena lintas qiraat/riwayat/thariq menyatakan harus dibaca 3, 4, 5 atau 6 harakat.
Dalam riwayat Hafsh, kadar panjangnya 3,4 atau 5 harakat tergantung thariq yang digunakan. Tapi yang disepakati adalah tidak boleh membacanya dengan kadar 2 harakat.
Sehingga, selayaknya qari membaca mad muttashil lebih panjang dari mad munfashil sebagaimana yang diutarakan Syekh Ibrahim As-Samanudi rahimahullah terkait tingkatan mad dalam kitabnya “At-Tuhfah as-Samanudiyah“. - Pembenahan Ghunnah
Ghunnah terjadi pada beberapa hukum, seperti : Idgham bighunnah, Ikhfa Haqiqi, Iqlab, Ikhfa Syafawi, Mim dan Nun Musyaddadah. Dalam lintas qiraat/riwayat/thariq, tidak ada perbedaan terkait kadarnya, minimal 2 harakat.
Sehingga, hendaknya para qari menjaga ghunnah pada kondisi tersebut agar membedakan dengan hukum-hukum lainnya. - Kejelasan Tafkhim dan Tarqiq
Tafkhim dan Tarqiq diterapkan dalam hubungan antar huruf, baik satuan ataupun gabungan. Ketidakjelasan penerapan tafkhim dan tarqiq yang disebabkan kecepatan bacaan, terkadang dapat merubah huruf dan maknanya.
Huruf-huruf Isti’la (خص ضغط قظ) harus dibaca tafkhim kapanpun dan bagaimanapun, tetapi jikalau tidak jelas penerapannya dapat mengarah ke huruf tarqiq yang satu makhraj dengannya.
Begitupula sebaliknya, selain huruf Isti’la harus dibaca tarqiq kapanpun dan bagaimanapun, dikecualikan tiga huruf (ا، ل، ر) yang dapat mengakomodasi tafkhim dan tarqiq dengan kaidah tersendiri. - Ketepatan Waqaf dan Ibtida
Selain aspek internal bacaan, Aspek eksternal bacaan yang diakomodasi dalam bahasan waqaf dan ibtida patut diperhatikan. Dua hal inti yang dapat membantu ketepatan waqaf dan ibtida adalah :
- Bahasa Arab (Nahwu Sharaf)
- Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an
Selayaknya para qari terus mempelajari dua hal tersebut sembari memperhatikan ilmu tajwid agar bacaan Al-Qur’an kita sesuai dengan yang Allah inginkan. Idealnya, tidak waqaf pada kalimat yang masih memiliki hubungan bahasan, makna dan i’rab.
Kalaupun harus waqaf karena faktor keterbatasan nafas atau lainnya, maka setidaknya ikuti kaidah waqaf tam, kaf dan hasan yang menitikberatkan permasalahan makna. Jangan sampai mengarah pada waqaf qabih yang disebabkan ketidaksesuaian tempat berhenti sehingga berakibat kesalahan makna.
Hal ini diutarakan dalam rangka menjaga riwayat Al-Qur’an yang sampai kepada kita. Diantara adab membaca Al-Qur’an adalah menjaga konsistensi hukum riwayat yang kita pakai, disamping memperhatikan aspek kandungan makna dan mengamalkannya dalam keseharian. Karena Al-Qur’an adalah kitab yang sakral dan bernilai dari setiap sisinya.
Semoga Allah karuniakan kita istikamah dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an hingga akhir hayat. Amin Ya Rabbal ‘Alamin
? Abid Fathurrahman Arif
Kampung Bahasa Arab, Pamijahan, Bogor
26 Ramadhan 1443 H