Saya sedang berada di sebuah tempat di masa lalu yang banyak membesarkan jiwa Saya. Selalu ketika melihat benda, ruang, suasana yang ada di masa lalu itu, Saya rindu sekali aktivitasnya. Pun meski udara yang dihirup berbeda rasa, perasaan masih sangat hangat. 

Saya pernah berkata, Saya sangat nyaman menjadi Ibu Rumah Tangga dengan mengajar sesekali saja. 

Cerita Jalan Kaki Bersama Anak

Di kondisi ini, Saya sedang mengandung anak ke tiga dengan 2 balita dan bisnis online kecil yang subur masyaallah. Sementara, Bapaknya anak-anak sering menjemput rejekinya di luar kota. Dan semua karena kemudahan Allah membuat Saya mampu melaluinya. Walaupun rumah orang tua masih terjangkau, kami paling sungkan menitip anak. Makanya, pergi berdua dengan suami hanya saat mengurus kartu-kartu yang hilang ketika musibah kecopetan dulu.

Sekarang? Perubahan status membuat banyak kemajuan dan kemunduran dalam hidup. Salah satu contoh, yang biasanya masak setiap jam makan, Saya hanya masak sekali untuk seharian. Menu telor dan nasi goreng sangat sering Saya ulang. Dulu, Saya bisa tertawa melihat orang membeli bumbu instan nasi goreng, sop atau sayur asem (itu yang paling laris) padahal rasanya ya begitu lah. Sekarang Saya paham kenapa produk itu ada yang beli. Kalau bukan karena idealisme, Saya bisa begitu juga sekarang. Tapi balik lagi, hal praktis semodel itu adalah pilihan.

Hal yang masih sulit Saya terima adalah tidak melihat anak-anak selama yang Saya lakukan dulu. Saya bisa menangis tanpa diketahui manusia di tempat-tempat umum. Memikirkan apa yang mereka lakukan tanpa Saya. Saya sampai pernah berpikir orang yang mendukung Saya mengajar adalah orang yang ingin memisahkan Saya dengan anak-anak. Padahal Saya juga yang menyetujui tawaran itu. Lucu, ya.

Apalagi tentang Asisten Rumah Tangga yang menjaga anak ketika Saya mengajar. Ini butuh Saya tulis secara spesifik karena pertimbangannya sangat banyak. Insyaallah. Beliau adalah orang yang butuh Saya didik pertama sebelum murid-murid Saya di sekolah. Visi Misi yang rumit di zaman ini. Dan benar saja di minggu pertama bekerja, Beliau adalah orang yang kebingungan mengatasi kebosanan anak tanpa TV dan HP di rumah. Sudah Saya duga. 

Bagi Saya teori biaya peluang dalam ekonomi itu nyata. Kita harus melakukan pilihan dengan mengorbankan hal lain. Tapi biaya peluang itu, jika kita pilih A, maka tidak mungkin lagi pilih B. Tapi yang kemudian Saya sadari itu, pilihan hidup Saya saat ini, Saya bisa pilih A dan mendapatkan keutamaan di B juga. Asal berhati-hati menjaga fokus. 

Dulu yang Saya mengerti, kebersamaan selalu baik dan meninggalkan anak adalah sebuah kezaliman. Makanya di awal perubahan status menjadi guru, pola pikir itu yang sangat membuat Saya sulit memaafkan diri. Saya tidak tahu apa yang membentuk, mungkin karena Saya dibesarkan dari sisi Ibu bekerja setengah hari. Yang ketika kecil sudah biasa mandi makan sendiri. Walaupun tidak kurang kasih sayang, Saya merasa yang terbaik adalah ada Ibu di rumah sepanjang waktu. 

Lalu Saya menyadari lagi, bukan Fisik ibunya saja yang di rumah, tapi hadir sepenuh hati dan fisiknya untuk membantu anaknya memahami kehidupan. Ibu yang sadar hak dan tanggungjawabnya. Saya bilang begitu karena Saya juga sering lalai sebagai IRT dulu dan sekarang. Dan pengertian ini sepertinya yang cukup adil untuk kondisi Saya saat ini. 

Sekarang, Saya melihat diri Saya yang baru yang tidak pernah Saya lihat sebelumnya. Dengan ujian hidup dan pengalaman yang baru juga. Hal yang Saya pesimis tidak mampu, ternyata Allah mudahkan Alhamdulillah. Termasuk kemudahan menuntut ilmu. Tentu ilmu yang dilahap seorang perempuan harus mampu membuat dia semakin tawadhu kepada orang yang berhak dengannya (baca:suaminya/bapaknya). 

Perang batin itu selalu ada. Tapi, Allah yang begitu cepat membalik semua keadaan ini. Jelang satu tahun yang sangat bergejolak. Walaupun untuk menikmati hal yang belum kita terima itu sangat sulit. Tapi, orang-orang sekitar membesarkan hati Saya, bahwa Saya memiliki potensi bermanfaat lewat mengajar tanpa meninggalkan kebaikan yang pernah dibangun. Pun, dukungan dan semangat orang sekitar yang menguatkan harus banyak-banyak Saya syukuri. Semoga Saya selalu berhati-hati menjaga diri untuk memegang komitmen dan terus belajar. Semoga tujuan kita melakoni sesuatu itu sama, untuk mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah sebagai seorang hamba, istri, dan orang tua. 

Selalu husnuzhon sama Allah dan carilah alasan apa yang membuatmu harus bersyukur..

Menulis untuk bercermin,

Rizqi Choiriyah – Alumnus Pesan Angkatan 2

source-image: pinterest.com

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *