oleh : Abid Fathurrahman Arif, S.Hum., M.Si
Jum’at, 6 Rajab 1445 / 19 Januari 2024
Memasuki tahun 2024, suasana politik kian terasa hangat di berbagai lapisan masyarakat yang puncaknya nanti akan diaplikasikan dalam ajang pemilihan umum (pemilu) calon presiden dan wakil presiden beserta anggota legislatif yang pelaksanaannya pada tanggal 14 Februari 2024.
Sebagai seorang Muslim, hendaknya kita berpedoman dengan syariat Islam yang telah mengatur segala hal keilmuan dan prakteknya, salah satunya politik. Islam tidaklah anti politik, politik juga bukanlah musuh Islam. Tetapi, politik adalah salah satu sarana untuk menjalani proses kehidupan manusia yang telah diatur pedomannya dalam syariat Islam.
Berbicara, mengkaji dan peka terhadap permasalahan politik bukanlah hal yang aib dan tercela, tetapi melegitimasi segala cara dalam berpolitik tanpa dipedomani syariat adalah hal yang hina dan nestapa.
Ulama sebagai pelaksana syariat bukanlah lawan dari Presiden/Raja (Umara) sebagai pelaksana politik dan pemerintahan, tetapi Umara yang berlaku zalim dalam kebijakannya secara hukum dan politik patut dikritisi dan dibimbing oleh para Ulama dan Ahli yang kompeten di bidangnya.
Al-Imam Al-Ghazali mempunyai pernyataan fenomenal terkait hubungan kekuasaan politik dan legitimasi keagamaan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin-nya :
المُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
“Kekuasaan dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama sebagai landasan dan kekuasaan sebagai pengawalnya, sesuatu yang tidak memiliki landasan pasti akan tumbang. Sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal akan tersia-siakan.”
Artinya, kebaikan dan keburukan sistem politik kenegaraan berpedoman dengan perspektif syariat Islam bukan persepsi kepentingan pribadi, partai dan organisasi semata. Islamisasi politik adalah hal yang positif jika didasari aspek maslahat dan maqashid syari’ah yang benar seperti menjaga keberlangsungan penegakan agama (hifzh ad-din), keberlangsungan jaminankeamanan jiwa dan harta (hifzh al-maal) dan juga kedaulatan negara (hifzh ad-daulah). Akan tetapi politisasi Islam untuk kepentingan ego pribadi atau kelompok dapat berdampak negatif dan perpecahan di kalangan masyarakat majemuk.
Esensi berpolitik adalah kepemimpinan, yang dalam Al-Quran adakalanya menggunakan kata خليفة (khalifah) dengan derivasi kata turunannya (tashrif), salah satunya dengan استخلف (istakhlafa) yang berarti tuntutan, permintaan dan perintah untum berkuasa atau memimpin.
Khalifah yang dimaksud sebenarnya tidak mengharuskan kepada bentuk pemerintahan absolut teokratis sebagaimana zaman dahulu, tetapi pada perkembangan konteksnya adalah penekanan kepada terapan aplikasi pemerintahan yang bersifat dinamis adaptif dengan pedoman syariat Islam secara eksplisit maupun implisit.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمۡ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَیَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِی ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَیُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِینَهُمُ ٱلَّذِی ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَیُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنࣰاۚ یَعۡبُدُونَنِی لَا یُشۡرِكُونَ بِی شَیۡـࣰٔاۚ وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَ ٰلِكَ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ﴾ [النور ٥٥]
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridai; dan Dia sungguh akan mengubah (keadaan) mereka setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Siapa yang kufur setelah (janji) tersebut, mereka itulah orang-orang fasik.” {QS : An-Nuur (24) : 55}
Al-Imam Husain bin Mas’ud Al-Baghawi (w. 516 H.) dalam Tafsirnya “Ma’alim at-Tanzil” menjelaskan bahwa ayat ini merupakan janji Allah kepada Rasulullah dan para sahabatnya dalam hal kepemimpinan dan kekuasaan pasca cobaan yang datang bertubi-tubi menghadapi orang-orang kafir musyrik Mekkah, begitupula rasa manusiawi berupa ketakutan dan kekhawatiran atas keamanannya saat masa peperangan dengan mereka. Tetapi karena keistikamahan iman dan amal saleh mereka, maka Islam menjadi kuat dengan sarana kekuasaan yang jangkauannya luas sebagaimana yang Allah berikan kepada kaum beriman terdahulu.
Sehingga, esensi pemimpin dan kepemimpinan berdasarkan ayat tersebut adalah sebagai berikut :
- Kepemimpinan dan Kekuasaan hakiki diraih dengan Iman dan Amal Saleh
- Kepemimpinan dan Kekuasan yang didapatkan sebagai sarana penguatan agama yang diridhai Allah dan memberikan rasa aman kepada manusia
- Sosok pemimpin sejati adalah yang bertauhid dan beribadah dengan benar serta berkarakter yang mulia.
Kepemimpinan tidaklah diukur dari skala nasional dan internasional saja, akan tetapi diri kita masing-masing hakekatnya adalah pemimpin sehingga patut saling introspeksi dengan amanah kepemimpinannya walau berskala kecil.
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (متفق عليه)
Bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
” Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. “ (Muttafaq alaih)
Menjadi pemimpin bukanlah untuk saling berbangga dengan jabatan dan materi yang dimilikinya, karena semua itu hanyalah titipan yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Oleh karenanya, pemimpin yang dapat bersikap adil dan bijaksana dalam pengelolaan negara dan masyarakatnya kelak mendapat apresiasi tinggi dari Allah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi yang menerangkan salah satu perlindungan Allah kelak di hari kiamat bagi pemimpin yang adil sebagaimana dalam sabdanya :
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“ Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Imam yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan (6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (Muttafaq Alaihi)
Keadilan, kebijaksanaan, ketaatan dalam beribadah, karakter yang mulia disertai pengalaman nyata dalam memimpin adalah komponen primer pemimpin yang layak kita pilih, dukung dan doakan. Bukan sekadar komponen tersier seperti penampilan, kepiawaiannya berorasi serta kekayaan dan jabatannya.
Walau tidak dipungkiri, diantara calon pemimpin yang ada tidak menjamin kebenaran dan kebaikannya 100% karena mereka bukanlah al-Khulafa’ ar-Rasyidun, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Harun ar-Rasyid dan Sultan Muhammad Al-Fatih yang kepemimpinannya dan keadilannya diakui umat Islam secara mutlak. Akan tetapi, secara umum kita meyakini bahwasannya tidak ada yang suci dari dosa dan kesalahan selain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Tahun politik dan masa pemilu Indonesia adalah salah satu sarana perbaikan negara dan umat, sehingga jangan menjadi orang yang terlalu fanatik dengan hal tersebut. Ajang kampanye dan seruan kesadaran politik jangan sampai memecah belah persatuan bangsa Indonesia yang telah dirajut kesatuannya dalam bingkai ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan) ditengah masyarakat yang majemuk.
Secara khusus untuk Umat Islam, maka persatuan sejati adalah dengan berpegang teguh dengan Al-Quran, As-Sunnah dan jalan Islam yang merupakan salah satu tafsir dari kalimat “hablullah” dalam Surat Ali Imran (3) : 103. Sehingga jangan mudah terprovokasi dengan perpecahan antar kepentingan partai, organisasi dan afiliasi tertentu.
Perbedaan dalam pilihan politik adalah hal yang wajar tanpa perlu saling menjatuhkan dan mengklaim atas kebenaran mutlaknya. Jangan sampai kita kembali kepada zaman jahiliyah yang fanatik buta dengan kelompok suku dan kabilahnya hingga rela memperjuangkannya tanpa pedoman agama yang diridhai Allah, sehingga menghalalkan segala cara untuk memenangkan kelompoknya.
Semoga Allah menganugerahi negeri Indonesia pemimpin yang adil, shalih, amanah, bijaksana dan kompeten dalam kepemimpinnannya sehingga mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.