ESENSI IDULADHA SEBAGAI SIMBOLIK PENGORBANAN KEPADA ALLAH

Penyusun : Abid Fathurrahman Arif, S. Hum.

Tempat : Lapangan Masjid Al-Mubarak, Perumahan Mutiara Baru, Bekasi

Waktu : Ahad, 10 Dzulhijjah 1443 H/ 10 Juli 2022

KHUTBAH PERTAMA

السالم عليكم ورحمة الله وبركاته

Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumullah,

Hari ini adalah hari raya bagi umat Islam. Pada hari ini pula, umat Islam dari berbagai penjuru dunia melakukan ibadah haji di Tanah Suci setelah tertunda dua tahun karena pandemi Covid yang melanda seluruh dunia. Dalam rangkaian ibadah tersebut terdapat syari’at ibadah kurban dan manasik haji (thawaf, sa’i dan tahallul), salat id dan berpuasa Arafah pada 9 Zulhijjah bagi yang tidak berhaji.

Iduladha identik dengan peristiwa pengorbanan putera Nabi Ibrahim alaihissalam ujian kepadanya dalam menjalankan perintah Allah. Dalam perspektif sejarah, kita dapat melihat kembali bahwasannya terdapat pembahasan yang fundamental terkait status putera nabi Ibrahim yang dikurbankan. Pada umumnya umat Islam berpandangan bahwa Nabi Ismail alaihissalam yang dikurbankan berdasarkan QS. Ash-Shaffat (37) : 99 -113. Hal ini secara khusus diterangkan pada ayat ke-102 sebagai berikut :

“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” . “Wahai Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orangorang yang sabar” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Kalau kita perhatikan secara seksama, ayat ini tidak menerangkan secara eksplisit siapa putera Nabi Ibrahim yang disembelih. Kalau mengacu pada ayat sebelumnya, Allah menyatakan bahwa Ibrahim diberikan kabar gembira terkait kelahiran putera pertamanya setelah menikah dgn Siti Hajar dengan predikat “ghulamun halim”. Menurut Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H.) dalam tafsirnya “Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim”, kata “halim” menunjukkan kepada Ismail sebagai anak pertama Ibrahim dari Siti Hajar. Hal ini dikaitkan dengan ayat selanjutnya, bahwa ketika anak tersebut telah baligh dan mampu dalam beribadah serta membantu pekerjaan ayahnya, dia menerima perintah dikurbankan tanpa keluhan dan bersabar menerima konsekuensinya.

Adapun menurut Al-Imam Al-Qurthubi (w. 671 H.) dalam tafsirnya “Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an”, putera yang dikorbankan adalah Nabi Ishaq dari Siti Sarah yang mendapat predikat “ghulamun halim”. Hal ini didasarkan pada peristiwa hijrah Nabi Ibrahim, Siti Sarah dan keponakannya Nabi Luth menuju Syam yang dikaruniai anak sebagai balasan kesabaran dakwahnya dan penerus kenabian. Ishaq adalah anak yang diberikan kabar gembira oleh Allah kepada Nabi Ibrahim setelah kemandulan istrinya dalam waktu yang lama, sehingga dia adalah anak yang kemudian dikorbankan sebelum pernikahannya dengan Siti Hajar dan lahirnya Ismail. Pendapat ini juga diikuti kalangan Yahudi di Bible Torah mereka dalam Genesis (22) : 1-13 dengan menambahkan keterangan tempat pengorbanan putera Ibrahim di Land of Moriah (Hammoria). Keterangan lebih lanjutnya sebagai berikut : ַ

Jika dikomparasikan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan Nabi Ismail di AlQur’an dan tinjauan sejarah, maka ketika Ibrahim hijrah dari Irak menuju Syam sempat singgah di Hijaz/Mekkah. Pada saat perjalannya tersebut, Ibrahim belum mempunyai anak dari Siti Sarah sehingga menikahi Siti Hajar (asalnya beliau adalah budak hadiah dari Raja Mesir) dan Ismail lahir di Mekkah yang masih tandus. Perintah kurban terjadi ketika Ismail berusia 13 tahun, sedangkan Ishaq saat itu belum lahir. Setelah peristiwa tersebut, dalam Surat Ash-Shaffat ayat 113 dinyatakan bahwa Nabi Ibrahim diberikan kabar gembira dengan kelahiran Ishaq sebagai pewaris kenabian setelah rentetan cerita pengorbanan Ismail. Isyarat keberkahan dan sifat sabar atas ujian yang menimpanya secara implisit ditujukan kepada Nabi Ismail sebelum ditujukan kepada Ishaq.

Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumullah,

Apa yang dapat kita pahami dari perbedaan pendapat terkait pengorbanan putera nabi Ibrahim tersebut ?

Jika melihat perkembangan konflik di Timur Tengah secara khusus di Palestina, maka salah satu akar konflik tersebut disebabkan ideologi berbasis sejarah yang dianut bangsa Arab Muslim dan Yahudi. Ismail sebagai buyut bangsa Arab, sedangkan Ishaq sebagai buyut bangsa Yahudi. Yahudi berpandangan bahwa Ishaq yang dikorbankan dan darinya lahir Isra’il/ Nabi Ya’qub ‘alaihissalam sebagai cikal bakal kaum pilihan Tuhan yang banyak diutusnya para Nabi dan Rasul dan kelebihan dalam kecerdasannya. Sementara Islam sebagai agama mayoritas bangsa Arab berpandangan bahwa Ismail yang dikorbankan sebagai kakek Nabi akhir zaman Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Hal ini secara tersirat dilatarbelakangi perebutan pengaruh eksistensi antara kedua rumpun Semit untuk memperoleh kedudukan dalam agama.

Pada hakekatnya, kisah pengorbanan putera Nabi Ibrahim tidak terhenti pada pribadi yang dikorbankan, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana dapat mewarisi ketaatan Nabi Ibrahim dan puteranya yang tiada batas. Jikalau masing-masing pihak mengklaim sebagai keturunan dan pengikut Ismail atau Ishaq yang dijadikan simbol pengorbanan kepada Allah, maka seharusnya mereka lebih berhak meneladani. Pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim bukan hanya dilandasi spiritual, tetapi kecintaan kepada Allah. Orang yang beribadah belum tentu ada rasa cinta kepada Allah, oleh karenanya berpotensi menimbulkan kesombongan, ketidakselarasan antara ilmu dan amal dan putus asa karena tidak istikamah.

Mari kita renungkan, sudah berapa banyak pengorbanan yang telah kita lalui dalam kehidupan kita ?

Mungkin kita tidak merasakan ujian seperti Nabi Ibrahim untuk menyembelih puteranya, tetapi dalam unsur kehidupan kita banyak yang dapat dikorbankan untuk meraih keridhaan Allah.

  • Kita (manusia) diberikan akal sebagai pembeda dengan hewan, apakah sudah dikorbankan untuk berpikir untuk belajar dan mencari kebenaran ? Kalaupun kebenaran datang dari dalil/wahyu, sudahkah kita dahulukan dalil daripada akal ?
  • Kita diberikan dua mata dan satu mulut, apakah sudah dikorbankan untuk banyak melihat dahulu dalam rangka tabayyun sebelum banyak berbicara ketika melihat berita di zaman fitnah ?
  • Kita yang diberikan waktu luang, apakah sudah digunakan untuk diisi dengan halhal yang bermanfaat dan berdampak positif jangka panjang ?
  • Kita yang diberikan ilmu, apakah sudah dikorbankan mengamalkannya walau terkadang bertentangan dengan nafsu dan keinginan manusia ?
  • Kita yang diberikan harta melimpah, apakah sudah dikorbankan untuk diinfakan di jalan Allah dan kebaikan ummat ?
  • Kita yang diberikan jabatan, apakah sudah dikorbankan untuk memperjuangkan keadilan dan menentang kezaliman ?

Ibadah kurban yang disimbolkan dengan binatang-binatang ternak : Unta, Sapi, Domba dan Kambing memberikan isyarat pengorbanan waktu dan harta yang kita miliki. Waktu berkurban dalam rentang 4 hari (10, 11, 12, dan 13 Zulhijjah) memberikan makna untuk mensyukuri nikmat yang Allah berikan dari daging kurban sembari memperbanyak zikir dengan takbir muthlaq maupun muqayyad. Bagi jamaah haji, maka pada hari-hari tersebut merupakan penutup rangkaian haji dengan melempar Jumrah (Ula, Wustha dan Aqabah) untuk meneladani perbuatan Nabi Ibrahim melawan bisikan Setan yang mengajaknya mendurhakai Allah. Harta yang dikeluarkan memberikan makna agar tidak hidup materialistik dan bersifat itsar, karena semuanya adalah titipan Allah bersifat sementara dan kenikmatannya tidak dirasakan satu golongan saja. Semua hikmah ini dapat mengantarkan kita kepada ketakwaan, karena sejatinya Allah tidak membutuhkan darah dan daging yang dikurbankan. Allah berfirman :

KHUTBAH KEDUA

Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumullah,

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali (w. 795 H.) dalam kitabnya “Latha’if al-Ma’arif fima li Mawasim al-‘Am min al-Wazha’if” memberikan suatu pernyataan optimisme bagi kita yang belum mampu mengorbankan diri secara maksimal sebagai berikut :

“Barangsiapa yang terlewati berwukuf di Arafah pada suatu tahun maka hendaknya menegakkan hak-hak Allah yang telah ia ketahui. Barangsiapa yang belum sanggup bermalam (mabit) di Muzdalifah maka hendaknya bermalam dengan ketaatan kepada Allah agar kian dekat (dengan Allah). Barangsiapa yang belum mampu menunaikan (haji) disebabkan ketakutan/rintangan (dalam perjalanan), maka hendaknya menegakkan rasa berharap (raja’) dan takut (khauf) hanya kepada Allah. Barangsiapa yang belum mampu menyembelih hewan kurban (hadyu’) di Mina maka sembelihlah hawa nafsunya agar tercapai cita-citanya. Barangsiapa yang belum sampai ke Baitullah (Mekkah) karena jaraknya yang jauh maka tujukan (amalannya) kepada Allah yang (mendengar) doa dan harapan serta lebih dekat dari urat lehernya.”

Semoga Allah anugerahi semangat berkorban bagi kaum Muslimin sehingga dapat menjadi umat yang terdepan dalam menjalani kehidupan. Amin Ya Rabbal Alamin.

والسالم عليكم ورحمة الله وبركاته

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *