Penulis : Ustadz Nur Fajri Ramadhan
@nf_rom
6 Maret 2011
Pernahkah saat belajar kita merasakan lelah? Pernahkah saat melakukan aktifitas sosial kita dihantui rasa bosan? Begitupun saat membaca al-Qur’an, tak jarang rasa malas menyerang. Apapun pekerjaannya, mulai dari Bapak Presiden di istana negara sampai pengamen di Kopaja, semua merasakan lelah dan capek. Begitulah hidup, deritanya tiada akhir, karena memang manusia diciptakan dalam keadaan susah payah dan hidup pun dilalui dengan tidak mudah..
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. (QS. 90:4)
bekerja keras lagi kepayahan, (QS. 88:3)
Lantas mengapa mereka tetap semangat merengkuh dayung sampan kehidupan mereka meski ombak terus menerjang dan badai tak kunjung henti? Jawabnya tentu sama: karena mereka punya tujuan. Tujuan yang mereka impikan inilah yang menjadi hiburan pelipur lara mereka dan ramuan anestetik yang menghilangkan sakit di sekujur tubuh mereka.
Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Begitulah slogan mereka. Usaha=hasil, itulah rumus mereka.
Mereka juga selalu mencamkan wejangan ibu mereka, “Sabar ya, Nak. Memang sekarang kamu berlelah-lelah belajar dan bekerja. Nanti kalau sudah sukses baru kau bisa nikmati hasilnya.”
Sekilas ini adalah pola pikir yang bagus. Memang demikian. Tapi tidak selamanya begitu. Coba saja jika mereka ditanya: jika kau bisa mendapatkan tujuanmu tanpa harus melalui proses panjang nan melelahkan apakah kau mau?
Jawabnya tentu saja: Absolutely, give it to me.
Demikian pula, kalau disuruh memilih, mau melalui jalan tol yang kosong lagi mulus atau melalui jalan berlumpur yang mendaki, tentu yang pertama yang akan dipilih.
Pola pikir seperti ini meskipun manusiawi tapi boleh jadi akan membawa seseorang kepada prinsip yang diusung oleh Machiavelli: Tujuan menghalalkan segala cara. Dus, terjadilah peristiwa pembocoran soal UN di banyak SMA. Ada lagi CPNS yang rela merogoh koceknya dalam-dalam untuk menyogok agar bisa diterima. Beberapa calon pejabat pun banyak melakukan kemungkaran dan kelicikan supaya terpilih.
Sebaliknya jika mereka setelah jatuh bangun membanting tulang dan memeras keringat tapi tidak mendapatkan tujuan mereka juga, langsunglah jatuh mental mereka, seolah-olah apa yang mereka telah usahakan tak ada nilainya, bagaikan habaa-an mantsuraa. Tidak sedikit yang menyalahkan Ar-Rahman yang diklaim tidak adil, ada pula yang sibuk melirik kanan dan kiri mencari kambing hitam kegagalannya.
Lantas bagaimana sikap seorang mukmin?
Khalifah Umar ibn al-Khaththab pernah ditanya, mana yang lebih utama? Seorang yang dalam perjalanannya menuju Rabbnya lurus-lurus saja, tanpa hambatan. Ataukah mereka yang terkadang berhenti sejenak untuk mngenyahkan gangguan-gangguan bahkan mesti jatuh karenanya untuk kemudian segera bangkit dan melanjutkan perjalanannya kembali?
Jawaban Umar ternyata agak mengejutkan,”Yang lebih utama adalah yang kedua, karena ia termasuk firman Allah ta’alaa, QS 49:3″
mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. 49:3)
Seorang mukmin melihat amal-amal yang ia lakukan bukan sebagai penderitaan dan beban. Bukan hanya sebagai anak tangga untuk meraih tujuannya. Akan tetapi ia juga menikmati dan meresapi setiap manis dan pahit yang ia temui dalam amal-amalnya.
Ia seperti penggila bola yang menikmati perjalanannya di bis yang sesak menuju stadion, atau berdiri di hadapan layar lebar selama 90 menit padahal cuplikan hasil pertandingan itu bisa dilihat lewat situs internet atau berita olahraga di TV pada pagi harinya.
Ia bagaikan seorang yang hobi memancing di sebuah area pemancingan, rela duduk berjam-jam menunggu ikan menggigit kailnya meskipun sebenarnya ikan segar bisa ia dapatkan dengan mudah di pasar tradisional.
Sekali lagi, mereka tidak cuma menikmati hasil. Lebih dari itu mereka meresapi, memaknai, dan menikmati setiap momen dalam aktifitas favoritnya.
Aduhai..mengingatkan kita tatkala Rasulullah yang bersabda kepada Bilal,”Arihnaa bish-shalaat.. Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan Sholat…”.
Lihat juga bagiamana para salaf menghidupkan malam-malam mereka dengan shalat malam. Terkadang mereka mengulang-ulang satu ayat dari al-Qur’an sepanjang rakaat karena begitu menikmati dan meresapi maknanya.
Para ulama sahari-harinya menulis, mengajar, menghafal tak kenal lelah, bahkan menikmatinya meski harus dilakukan saat mata seharusnya sudah terlelap. Inilah imam panutan Nusantara, Imam Asy-Syafi’I semoga Allah merahmati dan meridhoi beliau berkata:
“Goresan pena di tengah malam di atas kertas terasa lebih merdu didengar dari lantunan sya’ir lagu dari seorang biduan cantik yang bersuara merdu!”.
Tak ketinggalan pula mereka yang berjihad di jalan-Nya. dengarlah ucapan Anas bin Nadhar dalam salah satu pertempuran Uhud, katanya: “Aku sudah terlalu rindu dengan wangi jannah (surga),” kemudian ia berjibaku menerjang kaum Musyrikin sampai terbunuh. (HR Bukhari-Muslim)
Inilah potret ideal seorang mukmin. Mereka sadar bahwa mereka diciptakan untuk beribadah. Mereka pun sangat menginginkan keselamatan di akhirat. Mereka selain berusaha menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan, tapi juga menikmati dan memaknai setiap detik ketaatannya. Orang yang telah mampu mencapai level ini akan lebih tangguh dalam keistiqomahan dan lebih cepat kembali ke jalan yang benar setelah melakukan kekeliruan. Semoga kita termasuk orang-orang yang seperti itu. Amiin.
Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. 9:120-121).
*