Oleh : Ustadz Nur Fajri Ramadhaan
@nf_rom
Sebagian orang mungkin mengira bahwa wakaf uang yang difatwakan boleh oleh MUI pada 11 Mei 2002 dan diregulasikan dalam UU no. 41 tahun 2004 pasal 16 ayat (3) adalah perkara baru di zaman materialistis ini yang mana uang kertas merajalela sementara belum pernah ada contohnya di kalangan penghulu umat Islam yang shalih maupun generasi-generasi terdahulu.
Ya, memang tidak didapatkan riwayat tentang wakaf uang di kalangan penghulu Islam kecuali sedikit saja. Tetapi wakaf uang sudah ada dan benar-benar diterapkan sejak masa-masa itu. Riwayat tertua terkait wakaf uang adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahih beliau: Az-Zuhri berfatwa mengenai orang yang menjadikan 1000 dinarnya di jalan Allah dan mewakafkannya kepada budaknya yang mahir berdagang, lalu profit dagangan itu dijadikan sedekah untuk orang miskin dan kerabat, apakah pewakaf ini berhak mengambil bagian dari profit tadi? Jika tidak boleh, maka ia akan berikan juga kepada orang miskin”. Kata Az-Zuhri: “Untung tersebut tidak boleh ia ambil.” [Shahih Al Bukhari (4/12)]. Az-Zuhri ini adalah Ibnu Syihab, tabiin senior nan populer yang hidup di abad pertama dan kedua Hijriah (58-124 H).
Adanya pertanyaan ini di majelisnya Az-Zuhri mengisyaratkan adanya wakaf uang di masa yang sangat awal di saat shahabat masih banyak yang hidup. Begitu juga Imam Malik (93-179 H) pernah ditanya pertanyaan berikut: “Jika ada seseorang yang mewakafkan 100 dinar, ia hutangkan kepada orang0orang dan mereka melunasinya, lalu diwakafkan lagi, dan begitu seterusnya, apakah engkau memandang ada kewajiban zakat di sana?” Imam Malik menjawab: “Iya, saya memandang ada kewajiban zakat padanya.” [Al Mudawwanah Al Kubra (1/343)]. Lihatlah bahwa Imam Malik tidak engingkari wakaf uang yang disebutkan dalam pertanyaan.
Pertanyaan ini pun diajukan di majelisnya Imam Malik di Madinah Al-Munawwarah. Ini menunjukkan bahwa wakaf uang ada dan terus berlangsung di kota Madinah yang penuh ilmu dan ulama. Di abad ketiga Hijriah pun ada bukti yang menunjukkan bahwa wakaf uang telah berlangsung di tengah masyarakat Islam bahkan hingga ke jantung Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Imam Ahmad (164-241 H) pernah ditanya tentang seseorang yang mewakafkan 1000 dirham di jalan Allah, apakah dia dapat mengabil jatah dari situ? Imam Ahad menjawab, “Jika itu wakaf, maka ia tidak boleh mengambil apa-apa.” [Majmuatul Fatawa (31/234)]. Kondisi ini terus berlangsung di sejumlah wilayah Islam sebagaimana dihikayatkan oleh Ad-Dasuqi (653-696 H): “Dahulu di pelabuhan Fes ada seribu uqiyah emas yang diwakafkan untuk hutang. Sayangnya orang-orang malah melunasi hutang tersebut dengan kuningan dan lama-lama uang tersebut habis.” [Hasyiyah Ad Dasuqi (4/77)].
Sejarah lalu mencatat penyebaran wakaf uang yang signifikan di era Khilafah Utsmaniyyah di mana madzhab Hanafi kuat pada saat itu dan bahkan menjadi madzhab resmi negara. Bukti penyebaran wakaf uang pada masa itu ialah bahwa sejumlah fuqaha menuliskan buku-buku untuk menjelaskan tidak bolehnya wakaf uang serta mengingkari fenoena di masyarakat. Di saat yang sama, fuqaha lain turut menjawab dengan buku untuk menjelaskan bahwa itu boleh. Disertai bantahan terhadap argumentasi mereka yang melarang. Haji Khalifah mengisahkan fenomena ini: “Maulana Jawi Zadah menuliskan bukumenjelaskan tidak bolehnya wakaf uang. Ia juga berusaha membatalkan wakaf-wakaf uang di zamannya saat menjabat sebagai hakim di Eropa Timur. Kemudian Imam Abus Su’ud (896-982 H) membantah beliau dan mefatwakan bahwa itu boleh.” [Kasyfudzh Dzhunun (1/898)]. Pengingkaran Al-Qadhi Jawi Zadah seperti itu menunjukkan bahwa wakaf uang sudah tersebar di masayarakat zamannya. Adapun perbedaan pendapat antar sesama ulama Ahnaf di kalangan Utsmaniyyah, maka itu tidak aneh. Para fuqaha Hanafiyyah sendiri memang tidak satu suara terkait wakaf uang, sekalipun pendapat resmi yang dianut madzhab mereka adalah bahwa itu boleh, seperti halnya Malikiyyah dan sebagian Syafiiyyah dan Hanabilah. Tidak hanya sampai di situ, bahkan Khilafah Utsmaniyyah memerintahkan para hakimnya untuk mengesahkan wakaf-wakaf uang sebagaimana dinyatakan oleh ‘Alauddin Ak-Hashkafi (1025-1088 H) [Hasyiyah Ibni Abidin (4/364)].
Selanjutnya Hanafiyyah kontemporer seolah sepakat akan bolehnya wakaf uang meski masih ada sanggahan dari fuqaha lain [Kasyfudzh Dzhunun (2/10)]. Memang harus diakui memang bahwa wakaf uang ini belum terlalu menyebar di negeri-negeri Arab seperti luasnya penyebaran wakaf uang di semenanjung Anatolia (Turki sekarang) dan semenanjung Balkan (Eropa Timur sekarang) meski seluruhnya berada di bawah naungan Utsmaniyyah. Ibnu Abidin mengatakan, “Wakaf dirham populer di Turki & Eropa tetapi belum populer di negeri kami (Syam).” [Hasyiyah Ibni Abidin (4/364)].
Apapun itu, wakaf uang sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Muhammad Al-Arnauth telah berkembang pesat dan itu salah satu kekhasan Utsmaniyyah. Data menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 1340-1947 M, yang kebanyakan masa ini dunia Islam dikuasai Utsmaniyyah, wakaf uang tinggi dengan jumlah 5,5% dari total wakaf. Angka ini tentu tidak sedikit untuk wakaf uang karena kebanyakan orang (93%) masih mengutamakan wakaf properti [Alwaqful Islamy wa Tanmiyatul Mujtama’ hlm. 136]. Demikian seterusnya hingga wakaf uang kini menjadi hal yang lumrah di negeri-negeri Islam termasuk Indonesia. Wallahu a’lam.