Penulis: Ustadz Nur Fajri Romadhon Lc
Sesungguhnya di antara bentuk kealpaan yang paling berbahaya adalah kealpaan seseorang terhadap dirinya, positif dan negatifnya. Orang yang tidak mengenali potensi, bakat, dan hal-hal positif dari dirinya akan menyiakan banyak kesempatan dan kurang sempurna syukurnya kepada Allah ta’alaa atas anugerah yang telah dikaruniakan.
Demikian pula halnya mereka yang menutup mata dari aib dan kesalahannya, akan terus bergelimang dalam kesalahan dan sulit untuk berubah menjadi lebih baik. Keduanya amat berbahaya, tapi terkadang ketidaktahuan seseorang akan kekurangan dan aibnya lebih parah dan berbahaya.
Oleh karena itulah kita amat dianjurkan untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri). Kita tentu amat familiar dengan perkataan Umar bin Khaththab: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab kelak.” Kurang lebih maksud beliau adalah agar kita dari sekarang mulai menghitung-hitung dosa-dosa dan kekurangan kita lantas bertaubat dan memperbaiki diri sebelum kelak di Yaumul-Hisab kesalahan-kesalahan kita dihitung, padahal tidak ada lagi kesempatan taubat dan ‘remedial’ saat itu.
Namun muhasabah diri kerap kali masih belum cukup, karena tabiat jiwa –apalagi jika telah terkena tipuan setan– cenderung membela diri. Sudah jelas salah sendiri tapi enggan mengakui atau malah mengambinghitamkan orang lain. Kalaupun ternyata menyadari kesalahan, selalu ada dorongan untuk menganggapnya ringan lantas mentolerirnya begitu saja. Memang kadang kala kita menangisi kesalahan, tapi tidak lama setelah itu kita tetap lupa untuk memperbaikinya.
Nah, kalau sudah datang giliran untuk mengoreksi orang lain yang terjadi malah sebaliknya, yang kecil dianggap besar. Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak terlihat. Padahal sikap seorang mukmin adalah sebaliknya, ia senantiasa mengevaluasi dirinya bahkan mencela keburukan-keburukannya. Di saat yang sama, ia tidak pernah mencari-cari kesalahan orang lain, bahkan seringkali cenderung memaafkan dan menutupi.
Muhasabah harian, pekanan, bulanan, dan tahunan teruslah kita rutinkan, jangan sampai kita tinggalkan. Namun ada beberapa langkah yang selayaknya kita ikut laksanakan untuk menyempurnakan proses muhasabah kita. Berikut di antaranya:
Pertama: Berguru kepada seorang ahli ilmu dan hikmah secara intensif
Seorang ahli ilmu dan hikmah amat layak untuk dimintakan nasihatnya. Tapi, akan lebih baik lagi kalau beliaulah yang menasihati kita tanpa diminta. Bagaimana caranya? Tentu dengan sering bersamanya, menyerap ilmu dan hikmahnya, serta berkhidmat kepadanya..
Kita mungkin ingat bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum dahulu senaniasa berusaha dekat dan menyerap pelajaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih dari itu mereka jika mereka berbuat kesalahan, akan langsung diketahui dan dinasihati oleh Nabi. Bagi mereka tidak peduli apakah akan dinasihati secara halus oleh beliau (ini yang paling banyak terjadi) ataupun ditegur dengan sangat tegas, seperti yang terjadi pada diri Mu’adz bin Jabal tatkala Rasul menegurnya dengan wajah memerah, “A fattaanun anta, ya Mu’adz?? (Apakah kamu bermaksud membuat chaos di tengah manusia, wahai Mu’adz??”
Kalau di zaman sekarang, hal ini biasanya berlaku di pesantren, sekolah, atau lembaga sejenis. Para kiai, guru, atau ustadz bisa mengenali karakter asli para siswa dan santrinya karena seringnya interaksi sehingga jika kenal kekurangan-kekurangan mereka dan bisa menasihatinya. Peran senior di sekolah dan kampus juga bisa kita anggap mirip, dengan syarat sang senior juga merupakan seseorang yang memiliki kecukupan ilmu dan penuh hikmah serta wibawa di hadapan kita.
Pada tahun 1906, KH Agus Salim perbah ditugaskan ke Mekkah sebagai dragoman (penerjemah) di Konsulat Belanda. Ingat khan berapa bahasa yang beliau kuasai? Beliau adalah seorang yang cerdas, namun karena beliau sejak kecil bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, seperti ELS (Europeese Lagere School, setingkat SD) dan HBS (Hogere Burger School, setingkat SMP dan SMA), beliau sedikit terpengaruh dengan pandangan-pandangan filsuf Barat, tidak terkecuali yang berkaitan dengan akidah. Di Mekkah, beliau yang waktu itu masih berusia 22 tahun berguru kepada seorang ulama Ahlus Sunnah kebanggaan Nusantara, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, selama kurang lebih 6 tahun. Syaikh Ahmad Khatib adalah satu-satunya ulama Melayu yang pernah menduduki jabatan tertinggi dalam pengajaran madzhab Syafi’I di Masjidil Haram. Banyak muridnya yang menjadi tokoh penting negeri kita dan negeri Jiran, sebut saja Hadhratusy-Syaikh KH Hasyim Asyari (pendiri Nahdhatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah), Syaikh Muhammad Saleh (mufti Selangor), Syaikh Muahmmad Zein (mufti Perak), dst rahimahumullah ajma’iin.
Entah kenapa kalau bicara tentang Syaikh Ahmad Khatib, saya selalu menggebu-gebu. OK, kembali ke KH Agus Salim. Beliau termasuk orang yang beruntung karena saat berguru pada Syaikh Ahmad Khatib, barulah ia sadar kalau akidahnya sudah teracuni oleh pola pendidikannya dahulu yang kental dengan nuansa Belanda.
Syaikh Ahmad Khatib-lah yang menjelaskan hal itu kepadanya karena melihat ada yang tidak beres pada diri KH Agus Salim. Metode pengajaran yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad Khatib spesial, karena beliau tahu KH Agus Salim adalah seorang jenius. Ia ajak beliau berdiskusi sedikit demi sedikit. Awalnya KH Agus Salim tidak begitu saja menerima ucapan sang guru, beliau lantas melakukan perbandingan antara akidah Ahlus Sunnah dengan doktrin dan ideologi Barat. Namun karena Syaikh Ahmad Khatib mampu menjawab semua pertanyaan beliau dengan meyakinkan, akhirnya beliau kembali kepada keyakinan yang benar. Sepulangnya ke tanah air, beliau bahkan turut berjuang melalui Sarikat Islam.
Kedua: Bersahabat dengan rekan sebaya yang baik agama dan akhlaknya, serta jujur dalam bersikap.
Di antara nikmat mesti sering-sering kita syukuri adalah nikmat memiliki teman yang shalih. Teman yang shalih amat langka di zaman ini. Makanya hanya dengan rahmat Allah sajalah kita bisa bertemu dengan rekan-rekan yang shalih. Terkadang mereka datang begitu saja dalam kehidupan kita, tapi terkadang harus kita cari dengan segala upaya. Tapi kalau kita sudah mendapatkannya, yakinilah itulah salah satu nikmat teragung yang Allah berikan kepada kita.
Nikmat itu akan semakin besar manakala keshalihan teman kita itu bukan semata-mata keshalihan individual. Alangkah indah bila ia menggandeng tangan kita ke jalan kebaikan, mengingatkan kita saat khilaf dan silap, serta tidak ragu memberi teguran jika memang kita telah melampaui batas. Amirul Mukminin Umar ibn Khaththab pernah berkata suatu hari dengan penuh kerendahan hati: “Semoga Allah merahmati orang yang memberitahukan kepada kami aib-aib kami.”
Begitu juga Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal dunia Barat sebagai Umar II pernah berkata kepada salah seorang kawannya, Amru bin Muhajir: ”Wahai Amru, jika kamu melihat aku menyimpang dari kebenaran maka cengkeramkanlah tanganmu di kerah bajuku kemudian goncang-goncangkanlah aku seraya kau katakan kepadaku, ‘Apa yang barusan kau perbuat?!’”.
Dahulu para salaf sangat senang dengan teman-teman yang memberitahukan aib-aibnya. Adapun kita sekarang malah paling tidak suka dengan orang yang tahu belang-belang kita. Padahal kalau seandainya ada laba-laba beracun yang hinggap di punggung kita lalu ada teman yang memberitahukan kita akan hal tersebut, tentu kita akan bersegera menyikngkirkan laba-laba tersebut sekuat tenaga. Lalu kita pun akan sangat berterima kasih dan boleh jadi menraktir sang teman di kantin sepulang kuliah. Akhlak-akhlak buruk dan dosa-dosa kita besar kemungkinan lebih berbahaya daripada sengatan laba-laba, namun kita malah memandang sinis orang-orang yang hendak menasihati kita dan lebih senang dengan teman yang selalu siap mendukung, entah saat benar maupun keliru.
Ketiga: Mengambil manfaat dari kritikan rival dan musuh.
Meski berusaha menghindar sebisa mungkin, tetap saja ada orang yang tidak suka kepada kita. Sebagiannya malah terang-terangan menampakkan permusuhan di depan kita. Ia amat bersemangat membongkar semua aib kita sedetail mugkin. Nah, sambil kita berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan minta maaf, tabayyun, dsb, kita juga bisa memanfaatkan ‘service’ yang ia berikan tadi. Ingat ‘kan syair arab yang artinya begini?
Mata cinta tumpul melihat segala aib * Mata benci tajam melihat segala aib
Karena itu kritikan dan cibirannya kita jadikan sebagai bahan introspeksi. Barangkali rival yang kritis semacam ini lebih bermanfaat daripada teman dekat yang tidak peka terjadap aib kita atau malah bersikap pura-pura tidak tahu demi menjaga perasaan kita. Tapi di sinilah ujiannya, kebanyakan kita cenderung menuduh bahwa sang rival berdusta dalam kritikannya atau suka melebih-lebihkan, padahal bisa jadi ia benar 100 %.
Keempat: Terjun bersosialisasi dengan masyarakat
Kesendirian dan sikap enggan bergaul memang bisa membuat kita lebih aman dari pengaruh buruk orang lain. Tapi di saat sama sering menumbuhkan keangkuhan, sikap ujub, atau ‘rabun’ terhadap aib diri. Kita kadang baru sdar dengan kekurangan-kekurangan diri ketika membandingkannya dengan sikap masyarakat. Bisa juga baru sadar ketika sudah mendapat celaan dari dunia pergaulan atau malah ketika sudah ‘diusir’ darinya. Mirip amilum dalam makanan yang ketahuan wujudnya setelah muncul warna biru ungu akibat ditetesi benedict.
Setelah kekurangan kita sudah kita ketahui, mudahlah kita untuk memperbaikinya. Tapi penting diingat, pergaulan yang dimaksud tentu bukan pergaulan yang tidak lagi mengenal budi pekerti. Karena amat sangat mungkin barometer mereka terhadap akhlak dan tata krama juga berbeda. Akhlak terpuji disebut keluguan, perilaku tercela disebut modernitas.
***Kepada Allah ‘azza wa jalla kita memohon hidayah agar selalu menjadikan diri kita nampak kurang di mata kita agar kita tidak pernah berhenti memperbaiki diri.
link :
https://www.facebook.com/notes/nur-fajri-romadhon/mengenali-aib-diri/10150364884349557/