Oleh : Ustadz Nur Fajri Romadhon
@nf_rom
31 Juli 2011
Rini (sebut saja demikian-pen) baru saja naik kelas XI. Kelasnya yang notabene jurusan IPA dihuni oleh anak-anak pintar dari kelas X.1-X.9 yang tadinya belum ia kenal. Selain pintar, mereka ternyata banyak yang aktif di organisasi. Teman sebangkunya, Nurul (nama samaran) contohnya, waktu kelas X ia adalah peringkat pertama kelas X.3 dan juga aktif di Rohis dan PMR. Dua teman di belakangnya juga siswi-siswi yang cerdas dan aktif di OSIS dan Rohis juga. Awalnya Rini canggung, karena teman-teman yang sekarang beda dengan teman-temannya yang dulu. Waktu di X.5, ia bergaul dengan siswi-siswi yang hobinya pacaran, godain cowok, shopping ke mall, dst. Makanya meskipun berkerudung, kerudungnya masih kerudung gaul, alias rambut depannya masih suka dikeluarin, kayak di iklan-iklan. Ia juga sebenarnya pernah beberapa kali pacaran, cuma semenjak UKK lalu ia sudah putus dan masih jomblo sampai sekarang.
Setelah sepekan belajar dan bergaul dengan ketiga teman barunya, Rini merasa ia sudah menjadi bagian dari mereka. Ia pun mulai merapikan kerudungnya yang dulu cuma ‘sekenanya’. Ia pun selalu mengerjakan shalat dzhuhur di masjid sekolah tepat di awal waktu. Cara bicaranya jadi lebih sopan, dan lama-kelamaan ia jadi sering ikut mentoring, bahkan pengajian-pengajian di masjid-masjid di kotanya pun ia sempatkan untuk hadir. Meskipun secara organisasi ia bukan pengurus Rohis, tapi bolehlah Rini sekarang diistilahkan “akhwat”. Banyak pula teman-teman yang diam-diam memujinya karena progressnya kini dan ia boleh jadi lebih shalihah dari beberapa akhwat pengurus Rohis lainnya.
Terkadang Rini masih kumpul dengan teman-temannya waktu kelas X. Kadang-kadang jiwa nakalnya kembali muncul kalau lagi kumpul dan hang out bersama mereka meski ia sekarang relatif lebih bisa mengendalikan diri. Nah, kalau bertemu lagi dengan Nurul, hatinya sejuk lagi dan jiwa nakalnya pergi entah kemana. Begitulah awalnya, hingga akhirnya teman-teman nya waktu kelas X berkata sinis, “Rin, munafik lo. Kadang-kadang lo pasang tampang alim depan anak-anak Rohis. Padahal lo kan masih nggak beda jauh sama diri lo yang dulu. Emang sih sekarang lo udah jadi mendingan, tapi kan itu karena lo sok alim, riya’, pamer!”. Mendengar itu, Rini cuma bisa termenung. Dalam hatinya ia sudah ingin sekali berubah menjadi lebih baik, seperti Nurul dan kawan-kawannya. Tapi apa boleh buat track recordnya selama ini tidak berpihak padanya. Mungkin ia belum pantas disebut perempuan shalihah..
Saat shalat malam Rini menangis, ia takut kalau amalannya selama ini cuma riya’, nggak ikhlas mengharap wajah Allah. Ia berdoa agar taubatnya diterima Allah dan agar ia jadi wanita shalihah sungguhan, nggak dibuat-buat. Setelah itu, ia kian intensif mengkaji agama bersama Nurul dkk di mentoring dan majlis taklim. Kalau berkumpul dengan teman lamanya sekarang ia kian mampu mengendalikan dirinya walau memang environmentnya agak berbeda dibanding ketika ngumpul bareng Nurul dkk. Malah, ia sudah bisa mengajak sebagian teman lamanya untuk ikutan program-program Rohis. Rini yang sekarang sudah beda dengan Rini yang dulu, kerudungnya pun kian syar’i. Ia pun sudah bisa membuat batas yang toleran tapi aman ketika bergaul dengan lawan jenis meski ia bukan pengurus Rohis. Prestasinya juga bisa membuat sekolahnya bangga.
__________
Begitulah anak muda, kehidupannya penuh lika-liku dan perjuangan. Semoga kita termasuk pemuda-pemudi yang berhasil survive mempertahankan keshalihan dan terus meningkatkan kualitas keimanan. By the way, apa benar yang dikatakan teman-teman Rini kalau apa yang dilakukan Rini itu riya’? Ternyata tidak. Sama sekali tidak. Para ulama telah membahas fenomena ini sejak dulu, bahkan fenomena ini pun telah ada semenjak zaman shahabat dan Rasulullah telah menyatakan bahwa itu bukanlah riya’. Berikut adalah beberapa kondisi yang sering dikira riya’ padahal sama sekali bukan riya’.
A. Dipuji karena telah berbuat baik.
Abu Dzarr meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Bagaimana menurut Baginda kalau ada seseorang melakukan perbuatan baik lalu dipuji orang?” Si penanya ini tampaknya khawatir kalau yang demikian itu digolongkan kepada perbuatan riya’. Maka dengan bijaksana pun Rasulullah menjawab, “Itulah kabar gembira yang disegerakan di dunia bagi seorang mukmin.” [HR Muslim].
Maksud beliau, jika memang ketika mengerjakan perbuatan baik hati orang tersebut ikhlas tidak mengharap pujian, lalu ternyata setelah itu diam-diam ada yang mengetahui lalu memuji perbuatannya, maka pujiannya itu nggak akan mengurangi pahalanya malah itulah bukti dan kabar gembira dari Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya di dunia sebelum kelak ia akan diberikan balasan kebaikan di akhirat.
B. Bertambahnya semangat beribadah ketika bergaul bersama orang-orang shalih atau berada di waktu dan tempat yang kondusif untuk ibadah.
Terkadang kita kalau sedang sendirian tidak rajin-rajin amat beribadah, malah terkadang terjerumus pada dosa-dosa. Tapi uniknya ketika sedang bergaul dengan orang shalih kayak anak Rohis misalnya, semangat ibadah kita jadi meningkat. Atau kalau sudah masuk Ramadhan dan orang-orang pada rajin ibadah, kita jadi ikutan rajin. Yang tadinya shalatnya menunda-nunda atau sendirian, kalau bareng mereka jadi di awal waktu dan berjamaah. Yang tadi ngobrolinnya bola, kalau lagi duduk bareng mereka ngomongnya jadi masalah agama atau tentang kondisi dunia Islam. Begitulah, kondisi kita memang sering dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Al-mar’u ‘alaa diini khaliilihi falyandzhur ahadukum ilaa man yukhaalil, “Seseorang itu tergantung kondisi akhlak dan keimanan temannya, maka hendaklah kau perhatikan dengan siapa kau berteman”, begitulah kata para ulama.
Hal yang menarik perhatian kita adalah bahwa ternyata keadaan ini juga dirasakan oleh para sahabat. Dalam Kitab Shahih Muslim disebutkan Hanzhalah, salah seorang sahabat kenamaan, pernah dikunjungi Abu Bakar. Abu bakar pun mengucapkan: “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah”. Tiba-tiba Hanzhalah pun menjawab: “Hanzhalah telah munafik”. Abu bakar pun heran sambil bertanya, “Apa yang sedang kau katakan? Subhanallah!”.Hanzhalah pun berkata: “Ketika aku berada disamping Rasulullah dan beliaupun mengingatkan aku tentang siksa neraka dan kenikmatan surga, seolah-olah aku melihatnya dengan mata kepala sendiri.Namun ketika aku pergi meninggalkan Rasulullah aku pun disibukkan dengan urusan istri, anak dan kehidupan. Kemudian aku pun jadi banyak lupa terhadap apa yang diajarkan Rasul”. Abu Bakar pun berkata, “Demi Allah! Aku pun juga merasakan hal yang sama” Lantas keduanya mengadukan hal itu kepada Rasulullah.
Rasulullah pun bersabda: “Demi Dzat Yang jiwaku yang ada di dalam genggaman-Nya, andaikata kamu sekalian tetap seperti keadaan kalian di sisiku dan di dalam dzikir, tentu para malaikat akan menyalami kalian di atas kasur-kasur kalian dan tatkala kalian dalam perjalanan. Tetapi, wahai Hanzhalah! Sa’ah wa sa’ah wa sa’ah (setahap demi setahap).”
Rasulullah pada kisah di atas tidak mencela Hanzhalah, tapi beliau memakluminya. Menjadi shalih memang butuh proses. Mungkin kita saat ini sering naik-turun imannya. Tapi ketika iman turun, berusahalah agar terhindar dari melakukan dosa. Sibukkan diri dengan ibadah yang ringan ataupun amalan mubah yang bermanfaat. Sebaliknya, ketika iman sedang naik seperti di bulan Ramadhan, ayo kita kebut. Pepatah Arab mengatakan, “Tempalah besi ketika ia sedang terbakar”.
C. Mengerjakan kewajiban agama walau terlihat oleh orang lain.
Kewajiban agama memang mesti dilakukan. Ketika melakukannya pun tidak harus disembunyikan. Bahkan yang lebih baik adalah ditampakkan di hadapan masyarakat sebagai bentuk syi’ar dan memberi keteladanan. Itu semua karena memang pada dasarnya kewajiban itu adalah harus dikerjakan setiap orang. Ibaratnya seperti siswa yang masuk di kelas saat KBM atau selalu mengerjakan PR, tentu lucu kalau dikatakan dia itu sok pinter atau sok rajin. Nah, seperti itu juga kalau kita shalat berjamaah di masjid, menutup aurat, menunaikan haji, mengajak orang berbuat kenaikan, melarang orang dari berbuat dosa, dst. Asalkan niat di hati orang tersebut ikhlas, maka tidak disebut riya walau dikerjakan di depan orang lain.
D. Malu dan menyembunyikan dosa.
Kelihatannya memang sepeti riya’. Dosa yang ia kerjakan, malah ia tutup-tutupi. Tapi ini bukan termasuk riya sama sekali. Bahkan inilah yang diperintahkan agama. Setiap dosa itu hendaknya tidak dipopulerkan walau dengan dalih mengungkap fakta, kecuali kalau bertujuan agar umat menjauhinya atau ketika penegakkan hukuman pidana semisal rajam atau hukum potong tangan.
Berbuat dosa meskipun tidak ketahuan orang memang merupakan pelanggaran dan setiap muslim yang ingin bahagia di dunia dan akhirat wajib bertaubat dari hal itu. Tapi kalau dia mengerjakannya di hadapan khalayak atau menceritakannya di hadapan teman-temannya itu juga merupakan pelanggaran yang amat berat. Bahkan Rasulullah memberikan ancaman yang keras bagi mereka dalam dalah satu hadits beliau,
“Setiap umatku akan diampuni kecuali al-mujahirun (berbuat dosa terang-terangan). Para sahabat bertanya, “Siapakah al-mujahirun itu?” Beliau berkata, “Ia adalah orang yang pada malam hari berbuat dosa kemudian Allah tutupi aibnya. Lalu pada pagi harinya ia menceritakannya.” [Muttafaq alaih]
Dengan tidak mengumbar dosa kita jadi lebih mudah bertaubat dan orang lain jadi tidak akan ketularan berbuat dosa. Sekali lagi, jika kita telah berdosa, jangan diumbar dan jangan diceritakan atau kita akan terancam hadits di atas. Semoga kita nggak termasuk al-mujahirun.
Sebenarnya masih ada beberapa hal lain yang dianggap riya padahal bukan. Tapi sengaja dicukupkan sampai di sini karena dirasa sudah mencakup dan mencukupi. Mulai sekarang, jika ada bisikan setan yang mencegah kita bertaubat dan berbuat baik dengan menuduh kita berbuat riya’, berdoa saja dengan doa yang ada ajarkan Rasulullah dan terdapat di Musnad Ahmad, “Allahumma innaa na’uudzu bika min an nusyrika bika syaian na’lamuhu, wa nastaghfiruka limaa laa na’lamuhu. (Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik/riya’ secara sadar, dan kami memohon ampunanmu atas perbuatan syirik/riya yang tidak kami sadari).” Allahumma aamiin.